Saturday Morning Ride: Pantai Jayanti

Seingatku, ini perjalanan terjauh keduaku menggunakan sepeda motor. Bukan aku yang mengendarai tentu saja. Aku hanya penumpang, suamiku rider-nya ๐Ÿ™‚

Perjalanan terjauh pertama adalah saat aku mengunjungi Malang dari Surabaya bersama rekan kerjaku. Dan tentu saja aku juga hanya jadi penumpang. Jarak dan waktu tempuhnya mirip-mirip seperti perjalananku kali ini, tak beda jauh.

Bicara soal jarak dan waktu, terjauh bukan berarti terlama. Sebab aku pernah mengunjungi Curug Malela yang jaraknya kalah jauh dengan Pantai Jayanti, namun memakan waktu lebih lama dikarenakan kondisi jalan yang bikin elus dada, bahkan harus menuntun sepeda motor saat melalui jalanan berbatu.

Oh, ini bukan cerita tentang perjalananku menuju Curug Malela, ataupun perjalananku dari Malang menuju Surabaya. Ini adalah perjalanan aku dan suamiku menuju Pantai Jayanti, Cianjur Selatan!

Berangkaaat!

Sabtu, 11 Maret 2023

“Kita ke Naringgul ya, kalau badan masih kerasa enak, kita lanjut ke Jayanti”, ucap suamiku. Siaaaaap!

Sebelum pukul setengah 7 pagi, kami berangkat. Rencananya kami akan mengambil rute Ciwidey – Naringgul – Cidaun – Pantai Jayanti.

Biasa, setiap perjalanan pasti ada bumbu dramanya. Klakson Byson suamiku tak bunyi lantaran relay-nya dilepas oleh pamanku yang sekaligus montir. Sudah jelek katanya, perlu diganti. Alhasil tujuan pertama kami adalah mencari bengkel yang menjual relay klakson Byson di daerah Ciwidey. Ternyata tak semudah itu. Kami berhenti di beberapa bengkel, namun barang yang dicari tak juga ditemukan. Singkat cerita, hingga pulang ke rumah pun akhirnya klakson tetap tak bunyi ๐Ÿ˜€

Sebelum menikah, suamiku memang suka ikut touring. Klakson jadi hal yang penting katanya. Tapi yaa mau gimana lagi, selebihnya performa si Byson sedang bagus, jadi kami memutuskan untuk lanjut.

Tiba di Jl. Ciwidey – Rancabali, teleponku berdering. Tugas memanggil. Kami menepi di sebuah warung samping SPBU. Bekerja sejenak, sekalian sarapan. Gorengan dan teh manis. Menu sarapan mayoritas masyarakat Sunda ๐Ÿ™‚

Perut terisi, saatnya lanjut beraksi. Dari Ciwidey, kami lanjut berkendara hingga Naringgul. Ternyata suamiku masih kuat, perjalanan dilanjutkan hingga Pantai Cemara Jayanti.

Perlu jadi catatan, untuk menuju Pantai Jayanti lewat Ciwidey, jalannya berkelok dan naik turun, sebab memang naik turun gunung. Bayangkan saja, Ciwidey ada di atas, sementara Pantai Jayanti di bawah, lebih tepatnya 0 mdpl. Mau tak mau jalannya pasti naik turun.

Akses jalan sudah bagus, namun keloknya bisa bikin jantung dag dig dug. Tak sedikit kelok dengan putaran 360 derajat saat jalanan menurun. Kendaraan harus dipastikan dalam kondisi prima, terutama rem.

Sepanjang perjalanan, maha karya alam yang luar biasa dipamerkan dengan gagah dan megah. Kebun teh, air terjun, pegunungan, dan lain sebagainya. Sungguh kita tak ada apa-apanya. Sesekali kami berhenti untuk mengabadikan karya Ilahi. Meskipun tak semua sempat kami abadikan, lantaran kondisi jalan yang tak memungkinkan untuk berhenti. Cukup mata kami jadi saksi betapa agung ciptaan-Nya.

Teringat sebuah lagu yang sering dinyanyikan ibuku saat aku kecil dulu:

Alam terhampar di bumiku ini, alangkah indah berseri  
Lembah yang hijau, sawah yang mengemas 
Semua terpadu serasi  
Tuhan, Tuhan pemurah, syukur aku padamu  
Betapa agung limpah anugerahmu  
Bagi bumiku tercinta

Curug Ceret adalah salah satu air terjun ikonik di Naringgul, namun kami tak sempat mengabadikannya. Selain Curug Ceret, ada satu pemandangan yang membuatku takjub. Dari kejauhan, 5 air terjun mengalir berjejer di sebuah pegunungan yang tak kutahu namanya. Sayang ini pun tak sempat kuabadikan.


Kurang lebih pukul 10.10 kami tiba di Pantai Cemara Jayanti. Sesuai namanya, pohon cemara udang yang berjejer di sepanjang bibir pantai menjadi pemandangan yang unik dan menarik. Indah, namun memang dari segi fasilitas masih kurang karena memang masih dikembangkan. Pantainya belum terlalu ramai, cocok untuk pengunjung yang ingin suasana pantai yang sepi. Ombaknya kencang, tak cocok untuk berenang. Menurutku Pantai Cemara Jayanti lebih cocok dinikmati dari pinggir saja, banyak pengunjung yang bawa tikar dan bekal makan. Piknik bersama keluarga atau kawan. Ahh seru!

Pohon cemara di pinggir pantai, unik ๐Ÿ™‚

Untuk masuk Pantai Cemara Jayanti dikenai biaya 5.000 rupiah per orang. Kendaraan dapat diparkir di tempat parkir umum sebelum pintu masuk ke pantai.

Pantai Cemara Jayanti

Tak berlama-lama di Pantai Cemara Jayanti, kami melanjutkan perjalanan ke Pantai Jayanti yang hanya berjarak 5 km, sekitar 10 menit berkendara dengan sepeda motor. Tak ada biaya tiket untuk memasuki Pantai Jayanti, alias GRATIS!

Pantai Jayanti

Di pantai Jayanti kami memesan sea food, makanan wajib saat mengunjungi pantai. Sedangkan minuman wajibnya, tentu saja degan, atau dawegan kalau orang Sunda bilang. Mungkin lebih dikenal dengan istilah kelapa muda ๐Ÿ™‚

Degan pinggir pantai, sudah paling TOP!

Udang bakar menjadi santapanku siang itu. Sedangkan suami memilih ayam bakar lantaran tak begitu suka sea food. Sebenarnya aku membayangkan udang saus padang, namun di resto yang kupesan hanya ada sea food bakar. Ya sudahlah, toh tetap kusantap dengan lahap hehe.

Setelah makan dan istirahat sebentar, kami langsung pulang! Ya, sesingkat itu. Tiba sekitar pukul 11, sebelum pukul 1 siang sudah beranjak pulang. Begitulah kalau traveling tak bawa anak, rasanya kepikiran terus sama anak di rumah. Relate nggak nih?


Tak seperti perjalanan pergi yang semangatnya menggebu-gebu, perjalanan pulang terasa panjang dan melelahkan. Rasa kantuk menyerangku terus menerus. Untungnya suamiku tak merasakan kantuk yang sama.

Dari kejauhan, langit terlihat gelap. Kemungkinan besar akan hujan. Kami hanya berharap hujan turun setelah kami melewati Naringgul, batas antara Cianjur Selatan dan Bandung Selatan. Akses jalan di Naringgul tak buruk memang, namun tak bisa dibilang bagus juga. Selain itu, pencahayaan kurang, gelap lantaran melewati hutan. Kondisi jalan yang berbelok-belok dan naik turun juga lumayan bikin sport jantung. Bahaya kalau sampai terjebak hujan di Naringgul, pikir kami.

Untungnya, hujan turun setelah kami tiba di Ciwidey. Tapi ternyata cukup bikin deg-degan juga. Kabut turun menghalangi pandangan kami, hanya menyisakan jarak pandang kurang dari 10 meter. Harus ekstra hati-hati. Namun sejujurnya, suasana seperti itu aku suka. Adrenalin sedikit terpacu, kabut yang membalut hutan dan kebun teh Ciwidey menimbulkan efek mistik yang indah. Walaupun saat kabut hilang, tetap saja hati merasa lega hehe.

Kabut di jalan pulang, menimbulkan kesan mistik yang indah

Kami tak bawa jas hujan. Sebenarnya itu salah kami juga, mau momotoran kok tak bawa jas hujan. Byson tak memiliki bagasi, malas juga bawa tas besar untuk jas hujan, alhasil saat berangkat, kami hanya berharap saja hujan takkan turun. Namun ternyata kenyataan tak sesuai harapan. Tak apa, hujan kan berkah. Berhentilah kami di sebuah mini market untuk membeli jas hujan.

“Dingin Ma, enaknya berendam air panas”, ucapku pada suamiku.

Tak dinyana, suamiku mengiyakan. Tanpa bawa perlengkapan apapun, kami belok ke pemandian air panas Ciwalini. Pakaian kami beli dadakan di sana. Entah sudah berapa tahun aku tak ke sana. Sekarang Ciwalini punya banyak kolam, dulu cuma ada dua. Bahkan ada papan seluncurnya. Tiket masuk sekarang 40 ribu per orang, dulu 20 ribu saja tak sampai ๐Ÿ™‚

Walini sekarang, ada papan seluncurnya ๐Ÿ™‚

Sudah puas menghangatkan diri, kami solat terlebih dahulu di masjid area wisata, lalu pulang. Bandrek Abah jadi oleh-oleh perjalanan kami untuk orang di rumah.

Sekitar pukul 8 malam, akhirnya kami tiba di rumah. Lelah tapi bahagia. Syukur terucap, Alhamdulillah, untuk urusan main ini, aku dan suami satu frekuensi ๐Ÿ™‚


EPILOG

Suami tiba-tiba mengajakku traveling lantaran habis nonton video Dzinnur Journey di YouTube. Channel ini berisi tentang perjalanan Akang Dzinnur bersama istrinya menggunakan sepeda motor. Ide impulsif tiba-tiba saja langsung tercetus dari mulut suamiku. Yap, perjalanan ini tak direncanakan sama sekali.

“Sering-sering nonton Dzinnur Ma, biar sering ngajak main”, candaku pada suami ๐Ÿ™‚

Published by dwitunggadewi

Software developer, blogger, travel enthusiast

Leave a comment